Selasa, 11 Oktober 2011

Menelusuri Jalan Tol Termahal di Dunia yang Ada di Jepang

Bayar Tol, Otomatis Bantu Korban Tsunami


Meski tarifnya mahal, jalan tol di Jepang benar-benar bebas hambatan. Selain itu, jalan tol di sana juga sangat membantu penggunanya dalam mencari tujuan. Berikut lanjutan tulisan Imawan Mashuri, CEO JPMC (Jawa Pos Multimedia Corp), induk seluruh TV grup Jawa Pos, menelusuri jarak 1600 km di sela tugasnya menemui tv-tv partner di Jepang selama 9 hari.

Pemerintah Jepang memberlakukan kenaikan tarif tol. Tidak tanggungtanggung, lima kali lipat dari tarif sebelumnya. Padahal tarif sebelumnya sudah dikenal sebagai tarif termahal dunia. Ada jarak hanya 8 km, tarifnya 1800 yen atau sekitar Rp 180 ribu. Imawan Mashuri, CEO JPMC (Jawa Pos Multimedia Corp), menelusuri jarak 1600 km di sela tugasnya menemui tv-tv partner di Jepang selama 9 hari.

INILAH salah satu cara, bahkan diakui sebagai cara paling utama mencari dana untuk recovery musibah tsunami yang melan takkan provinsi Sendai, Fukushima dan Miyagi 11 maret lalu itu. Dari sektor jalan tol, pemerintah butuh 1 triliun yen atau sekitar Rp 100 triliun untuk membangun kembali dan memperindah bekas wilayah bencana yang menewaskan 30 ribu jiwa tersebut. Dana sebesar itu hanya ingin diraih dalam 1 tahun.

Itu sebabnya, tidak ada jalan lain, tarif tol dinaikkan, rata-rata lima kali lipat dari tarif sebelumnya. Kalkulasinya memang memungkinkan. Di jepang, mobil beredar sekitar 80 juta dari 120 juta penduduknya. Tiap keluarga memiliki dua atau tiga mobil. Dari jumlah itu, 85 persen pengguna tol.

Dengan menaikkan tarif tol, bisa disebut, semua masyarakat pasti terlibat untuk membangun kembali negaranya dan menolong saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Singkatnya, dengan membayar tol yang tarifnya naik lima kali lipat, maka secara otomatis turut serta membantu korban tsunami. Tol di Jepang sudah menembus seluruh wi layah.

Dari Nagasaki di pulau Kyushu, me nembus pulau terbesar Honshu yang ter dapat kota terpadat Tokyo dan provinsi kem barnya jatim yaitu Hiroshima Kemudian masih bersambung ke pulau Shi koku yang terdapat kota kembarnya Surabaya yaitu Kochi, terus tembus ke pulau-pulau kecilnya. Yang tertua adalah Tol Meishing, berusia 50 tahun.

Membentang dari Kobe, Nagoya sampai menembus Tokyo berjarak 600 km. Semua tol telah dihubungkan dengan jembatan-jembatan indah yang jalannya tersusun berlapis; untuk mobil dan motor besar di bagian atas dan di bawahnya untuk kereta api. Menerobos ratusan terowongan yang terpanjang terowongan Shimisu untuk kereta api dan terowongan Seika di bawah laut Hokaido, masing-masing panjangnya 20 km.

Jembatan-jembatan yang menyeberangi lautan, semuanya membentang tinggi sehingga bisa dilalui kapal bertonase besar di bawahnya. Tidak ada kapal besar yang harus cari jalur lain akibat adanya jembatan tol seperti Suramadu misalnya. Sarana ini cukup memadai, andal dan pantas dijadikan alternatif penggalian dana.

Menelusuri jalan tol di musim semi - menjelang musim panas bulan juni juli seperti ini cukup menyenangkan. Pemandangan yang membentang di kiri kanan sungguh indah.

Pohon cemara dan pinus yang medominasi belantara, hijau lebat berjajar mengikuti kontur tebing-tebing, kadang dibelah sungai yang bening. Momiji dan sakura yang biasanya berbunga pasca musim salju pada bulan April, ikut menghijau lebat meski tanpa bunga. Gunung-gunung di sepanjang jalan terasa memeluk dari belakang.

Kalau kita sudah sangat bangga memliki tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta-Bandung lengkap denga pemandangannya, serta jembatan Suramadu untuk Surabaya-Madura, rasanya perlu menelusuri jalan tol, terowongan dan jembatannya di Jepang. Supaya tergairahkan untuk membuat yang jauh lebih baik lagi.

Sepanjang 1997 km jalan yang saya lewati, 1600 km di antaranya – tol ini saya ukur dari argo meter Toyota Regius (seperti alphard dengan bbm solar) yang saya pakai sejak saya tiba di Osaka sampai kembali ke Osaka - semuanya bertan da jelas, markanya tidak ada yang buram, tidak ada polisi tidur.

Geratan “polisi kecil tidur” yang di sini dipakai un tuk mengejutkan pengemudi supaya tidak mengantuk, di sana hanya segaris di kiri kanan untuk mengingatkan bahwa mobilnya mulai keluar jalur. Jika mulai keluar jalur, menginjak marka, termasuk laju melebihi atau kurang dari batas kecepatan, peringatan dari trans ponder transducer yang terangkai jadi satu dengan monitor mobil, “berteriak” memperingati.

Memang, semua mobil yang masuk jalan tol, terhubung dengan GPS (Global Positioning System). GPS ini memandu sekaligus memperingati. Juga kelak kalau melanggar, otomatis akan muncul data pelanggarannya. GPS menjadi segala-galanya di Jepang.

Terutama untuk lalu lintas. Mencari alamat, tidak perlu sulit-sulit, apalagi harus turun bertanya. Cukup memasukkan alamat, maka jalur yang mengantar ke alamat tersebut akan muncul di monitor dari titik mobil berada. Kalau lupa alamat, cukup menuliskan nomor telepon.

Bisa juga nama kantor, toko, restoran, apa saja, bahkan nama orang, asal lengkap. Sistem monitoring dengan GPS berbasis satelit seperti ini juga diterapkan di banyak bisnis. Bahkan para tahanan di lembaga pemasyarakatan pun menggunakan name plate di ba junya yang dihubungkan ke satelit untuk dimonitor.

Infrastruktur di Jepang dan penataan sis temnya rasanya memang pantas disimak. Semuanya mudah diakses dan dilihat nyata. Jalanan yang terhampar, langsung bisa dikenali. Alamat yang menggunakan angka satu digit, pasti ber ada di jalan negara. Dua digit adalah jalan propinsi dan tiga digit jalan kabupaten.

Pabrik, pertokoan, perkantoran atau rumah-rumah berada pada lokasi dan bloknya masing-masing. Memberi nama untuk apa saja yang berkaitan dengan publik, terutama nama jalan, harus mencerminkan daerahnya atau daerah yang terhubungkan

Rogoh Rp 4 Juta untuk Tempuh Jarak 1.600 Km



TEROWONGAN maupun sungai -sungai dan jembatan, juga gampang dikenali di Jepang. Semua terukur, sampai luasannya. Dan terdata di GPS. Itu sebabnya membuat perluasan tidak mudah karena harus melewati prosedur mengubah data dan peraturan. Pemilik pabrik pemasok komponen alat berat komatsu, Tatebe Kanjiro di Kanazawa Selatan propinsi Ishikawa, memilih akan menghibahkan mesin-mesinnya saja ke melewati prosedur mengubah data dan peraturan.

Pemilik pabrik pemasok komponen alat berat komatsu, Tatebe Kanjiro di Kanazawa Selatan propinsi Ishikawa, memilih akan menghibahkan mesin-mesinnya saja ke Biru tua, adalah milik propinsi; agak mahal jaraknya lebih dekat, dan bertanda hijau; ini yang termahal, jaraknya pendek, milik dan dikelola oleh daerah. Ketika lepas dari tol di Kochi menyeberangi pulau kecil Naruto yang terdapat kota Awaji -seperti Bali kecil yang terkenal dengan udangnya- jaraknya kirakira hanya 8 km, tarif tolnya 1800 yen, setara Rp. 180 ribu.

Ini tarif setelah kenaikan. Tol seperti ini sambung menyambung, berganti-ganti warna yang menandakan ganti wilayah, dan kalau kita tidak keluar, terus, maka lihat saja di palang pintu otomatisnya, tarifnya muncul. Kecepatan melewati tiap pintu tol adalah 20 km/jam, palang pintunya membuka otomatis, dengan kecepatan tidak sampai satu detik. Melewati pintu tol otomatis, tidak perlu membuka kaca.

Dari transponder tranducer yang terangkai dengan monitor di dalam mobil cukup untuk semuanya. Karena alat itu menunjukkan siapa pemiliknya dan berapa uangnya di bank yang disisihkan untuk bayar tol. Uang itu terdebet langsung dan otomatis terkurangkan untuk bayar tol. Enaknya “berlangganan” seperti ini, selain cepat, juga didiskon 30 persen.

Bisa juga yang langsung bayar, pengendara harus keluar ke jalur lain bertanda ETC (electronic true card). Cara ini lebih mahal 30 persen karena di sana memerlukan petugas jaga yang harus melayani. Menyetir mobil pun, di tol jepang tidak merasa lelah.

Selain jalur dan kecepatan selalu terukur dalam panduan GPS, jalannya pun terasa ikut menyetir, misalnya melepas setir untuk jarak yang lumayan panjang, mobil --yang spooring balancingnya bagus-- tidak akan berbelok atau pindah jalur sendiri karena jalannya rata. Untuk tikungan pun, jalannya digarap sedemikian rupa sehingga mobil seperti bisa melaju sendiri mengikuti jalan. Hampir tidak bisa ditemui jalan menanjak atau menurun.

Mereka memilih membuat terowongan, menembus gunung dan bebukitan ketimbang memaksa jalan menanjak atau menurun. Rest areanya juga sangat memadai. Bersih, tentu saja, karena itu trade mark mereka. Klosetnya, tinggal tombol, semua menggunakan semprot otomatis dengan air hangat. Biliknya berjajar puluhan. Tersedia air minum dan teh hangat.

Restoran dan supermarket yang dibolehkan berjualan, terstandar. Beberapa di antaranya menggelar dagangan dari olahan hasil bumi setempat. Karena harus mendatangi sejumlah tempat di sejumlah kota yang berjauhan, saya berkesempatan menikmati tol yang tarifnya luar biasa mahalnya ini. Apalagi jika dibanding tarif tol Indonesia.

Saya menelusuri dari bagian tengah Jepang yaitu Osaka, terus menuju utara, agak ke barat, melewati jalur yang menghadap ke lautan pasifik, kembali ke tengah melalui jalur lain yang menghadap ke lautan baliknya yaitu Laut Jepang, terus ke selatan, menyeberang ke Pulau Shikoku, tembus ke pulau kecil Naruto, kembali ke Osaka. Total jarak yang saya tempuh dalam tujuh hari dari sembilan hari saya bertugas di jepang adalah 1997 km itu. Dari keseluruhan jarak perjalanan itu, membutuhkan 80 persen jalan tol atau sekitar 1600 km.

Kira-kira dari Surabaya menuju Jakarta lewat Selatan dan balik lagi ke Semarang melalui pantura, melewati beberapa tol negara, tol antar propinsi, serta tol daerah dan total biaya tolnya saja, 39.800 yen setara dengan Rp 4 juta. Sungguh tidak murah.

Pada awalnya masyarakat menggerutu atas kenaikan itu. Tapi pemerintah jalan terus. Penjelasan lewat semua media digencarkan. Ada count down di tv. Dan satu hari sebelum kenaikan tarif, yaitu tanggal 19 Juni, tepat hari minggu saat saya tiba di Osaka --dan memulai perjalanan ini-- jalan tol sangat ramai.

Motor-motor besar di atas seribu cc ikut meramaikan bersama mobil-mobil beraneka jenis. Mereka bersama keluarga menikmati hari terakhir sebelum tarif tol naik. Rest area di bawah jembatan tol paling ramai, yaitu Setou Ohashi --yang menghubungkan Okayama di pulau Honsu dengan Kagawa di pulau Shikoku-- dipadati pengunjung. Karena jembatan ini berdiri di atas selat Setou yang jaraknya 13 Km, dengan jembatan gantungnya 9,4 km dan dilatarbelakangi gunung Daisen. Mereka berfoto di sini sambil menyaksikan lalu lalang kapal-kapal berbagai ukuran.

Sesekali kereta api Sinkansen lewat. Besoknya, ketika tarif baru mulai diber lakukan, tol sepi. Tapi tiga hari kemudian tampak normal kembali. Lalu lalang mobil kembali tampak seperti biasa. Pemandangan di rest area terutama yang di bawah jembatan, hidup lagi. Di rest area jembatan Akashi Kaikyou Ohashi yang menghubungkan Awaji Shima dengan Akashi Shi di wilayah Hyogo Ken ramainya seperti di Setou Ohashi sehari sebelum tarif tol naik. Karena dari sini, dari dalam restoran royal yang lezat, tampak lekuk jembatan dan kota-kota nun di sana.

Tsuruno Keisuke, pengusaha yang banyak membantu pemagang asal Jatim bekerja di Jepang mengatakan, kenaikan tol ini memang mencekik. Tapi dia rela demi perbaikan dan kemajuan akan datang. Apalagi untuk kemanusiaan pasca bencana. Pria yang kerap ke Indonesia untuk menjembatani hubungan pengusaha antar negara ini mengaku tiap minggu mesti pergi ke Osa ka dari tempat tinggalnya di Hiroshima.

Dan pasti melewati tol sepanjang 400 km lebih sekali jalan. “Dengan fasilitas jalan dan rest area seperti ini, bolehlah. Yang penting kemudahan usaha tetap lancar,” tuturnya sambil menyeruput miso soup di royal restoran itu. Menurutnya, tol-tol di Indonesia sangat murah dan tidak kalah macetnya dengan jalan biasa. (*)

Sumber 1 dan Sumber 2

0 comments:

Posting Komentar