JAKARTA. Ada berita melegakan dari pasokan dan permintaan beras di Tanah Air. Defisit antara konsumsi dan produksi beras nasional tampaknya tidak sebesar angka yang selama ini diperkirakan. Hal ini tecermin dari hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai konsumsi beras per kapita yang hanya113 kilogram per tahun.
Rusman Heriawan, Kepala BPS, mengatakan, saat ini, BPS sudah hampir merampungkan pendataan mengenai konsumsi beras secara nasional. "Memang belum resmi, tetapi dari beberapa hitungan yang diteliti, konsumsi beras kita 113 kilogram (kg) per kapita per tahun," tandas Rusman dalam pengumuman inflasi bulanan di Kantor Pusat BPS, Senin (3/10).
Bila angka tersebut benar, tentu ini berita menggembirakan. Soalnya, angka tersebut jauh di bawah angka konsumsi beras yang dirilis oleh Kementerian Pertanian (Kemtan). Selama ini, menurut angka Kemtan, tingkat konsumsi beras per kapita mencapai 139 kg per per tahun.
Makanya, Kemtan menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) 2011 sebesar 70,6 juta ton. Target ini setara dengan 42,36 juta ton beras
Nah, angka terbaru dari BPS jelas membuktikan bahwa kebutuhan beras nasional tahun ini turun dari 33,36 juta ton menjadi 27,24 juta ton beras. Bila dibandingkan dengan produksi beras, berdasarkan hitungan BPS, Indonesia berpotensi mengalami surplus beras hingga 15 juta ton.
Sementara, jika mengacu pada angka ramalan (Aram) II produksi GKG 2011 versi BPS yang sebesar 68,6 juta ton GKG atau setara dengan 41,16 juta ton beras, maka Indonesia akan mendapatkan kelebihan beras sampai 14 juta ton.
Dengan data terbaru tersebut, tentunya pemerintah harus meninjau kembali besarnya impor. Begitu pula halnya dengan Bulog yang selama ini mengimpor beras karena mengaku sulit menyerap beras dari petani.
Perlu satelit dan GPS
Mengenai perbedaan angka tersebut Rusman memperkirakan angka luas lahan panen yang digunakan Kemtan terlalu besar. "Kelihatannya ada kecenderungan over estimated," kata Rusman.
Langkah BPS menghitung sendiri konsumsi beras tersebut disambut baik oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog).
Rachmat Pambudy, Wakil Ketua Umum HKTI, mengakui, beberapa instansi pemerintah memang menggenggam data lahan produksi beras. Instansi itu antara lain Kemtan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sayang, datanya belum sinkron.
Rusman memperkirakan, angka yang tidak sinkron karena pendataan produksi kurang didukung teknologi. Kemtan hanya menggunakan pengamatan kasat mata untuk mengira-ngira luas lahan. Maka, "Kalau bisa dipergunakan teknologi pencitraan satelit dan global positioning system (GPS) untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat supaya perencanaanya juga lebih tepat," kata Rachmat.
Ia berharap, selain mendata produksi dan konsumsi beras, pemerintah juga mendata kepemilikan lahan, karena kepemilikan lahan juga mempengaruhi keberlanjutan produksi pangan.
Ia mengamati, jika petani mengalami kerugian panen, kecenderungan mereka mengganti komoditas tanam di lahan miliknya sangatlah kecil. Namun, jika pemilik lahan perusahaan, kecenderungan mengganti komoditas tanam saat merugi sangat besar.
Menurut Sutarto Alimoeso, Direktur Utama Perum Bulog, pendataan kembali angka konsumsi dan produksi beras sebetulnya sudah diperlukan sejak lama. Pemerintah membutuhkan data yang akurat agar bisa menghitung kebutuhan beras nasional, kemampuan menyerap produksi lokal, serta kebutuhan impor beras yang pasti.
Selama periode 2011–2012, Bulog diberi kewenangan untuk mengimpor 1,6 juta ton beras demi mengamankan cadangan pangan.
0 comments:
Posting Komentar