Senin, 03 Oktober 2011

Gempa Padang dan Pendekatan Pratanda (Upaya Pengurangan Risiko Bencana)

Oleh : Zurhanen
Pengamat Gempa dari Fakultas Geografi UGM Yogyakarta

“We have heard that lightning does not strike twice in the same place, but if you have one earthquake you are likely to have others” (McCloskey)

Orang sering mengatakan bahwa kemungkinan kejadian gempa bumi dapat diprediksi dengan periode ulang yang biasanya dikaitkan dengan siklus tahunan.

Kutipan pernyataan Prof John McCloskey dari Ulster University (USA) di awal tulisan ini menunjukkan bahwa kejadian gempa dapat atau pasti berulang pada daerah yang pernah terjadi gempa sebelumnya. Namun kepastian mengenai kapan, di mana dan seberapa besar suatu gempa bumi yang akan terjadi, masih merupakan tanda tanya besar, bahkan Geller et.al (1997, dalam Bayudono, 2010) mengatakan : “Earthquakes cannot be predicted”. Yang bersangkutan menyarankan akan Iebih balk jika perhatian difokuskan pada mitigasi bencana, memahami sumber mekanisme dan respon bangunan terhadap vibrasi seismik.

Pada sisi lain masih banyak ahli yang menyatakan bahwa kejadian gempa bumi ditandai dengan munculnya pratanda, dan meyakini dapat dilakukan penelitian untuk memprediksi kejadiannya, sehingga dapat mengurangi kerusakan dan kerugian akibat gempa bumi tersebut. Memang selama ini dalam berbagai pertemuan ilmiah sering ditunjukkan adanya fenomena alam yang mendahului kejadian gempa bumi, namun sayangnya fenomena tersebut baru diketahui setelah terjadi gempa bumi yang telah memakan korban jiwa, kerusakan dan kerugian harta-benda.

Istilah pratanda digunakan untuk mendeskripsikan berbagai fenomena alam yang dilaporkan mendahului terjadinya gempa bumi. Fenomena alam tersebut dapat berwujud pengaruh perubahan (medan listrik, medan magnet, dan medan gravitasi), perubahan tinggi muka air-tanah, munculnya emisi gas, perubahan suhu tanah dan udara, deformasi permukaan bumi dan anomali pola seismik, termasuk pula perubahan perilaku hewan.

Penelitian mengenai pratanda kejadian gempa bumi memang telah lama dilakukan, dimulai satu abad yang lalu dan makin gencar setelah era 1970-an, terutama untuk menentukan lokasi atau pusat gempa, waktu kejadian dan besarannya. Ini bukanlah hal yang mudah, karena penelitian selalu dilakukan setelah kejadian gempa bumi dan kemudian dikaitkan dengan pratanda yang terdeteksi, sehingga yang terjadi adalah “othak-athik”. Karena itu Campbell (1998, dalam Bayudono, 2010) mengatakan bahwa penelitian pratanda gempa merupakan “pseudo-scientific” dalam memahami peristiwa gempa bumi. Namun peneliti lain (RK Chadda) mengatakan, bahwa adanya pratanda yang mendahului gempa bumi menunjukkan bahwa terdapat alasan yang kuat untuk percaya adanya kaitan antara pratanda dengan kejadian gempa bumi setelahnya.

Prof Ishibashi dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pratanda gempa bumi dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu pratanda fisik dan pratanda tektonik. Beberapa pratanda yang ternyata betul-betul menunjukkan akan terjadi gempa bumi adalah yang mendahului gempa bumi dengan skala 7,3 SR terjadi di Haicheng (China) pada 4 Pebruari 1975. Pratanda yang muncul di antaranya adalah perubahan eskalasi gempa pendahuluan (foreshock), berkelompok dan berubahnya perilaku hewan.

Pemberitahuan yang tepat waktu kepada masyarakat ketika itu telah menyelamatkan setidaknya 1 juta nyawa manusia. Berbeda dengan gempa bumi yang terjadi di Tangshan 14 bulan kemudian, yang menurut Achenbach (2006) diperkirakan menewaskan 655.000 jiwa, dalam hal mana tidak ada prediksi yang dapat dibuat. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya-proses kejadian gempa bumi berskala besar.

Penelitian lain mengenai pratanda gempa bumi dilakukan oleh Prof E Khalilof dari Academic of Science Azerbaijan. Alat deteksi dini gempa yang dirancang oleh lembaga yang berada di negara pecahan Uni Soviet ini diberi nama Atropatena. Instrumen ini dikembangkan berdasarkan pendeteksian anomali gravitasi. Dipublikasikan bahwa alat ini dapat mendeteksi kejadian gempa beberapa hari sebelum kejadian. Kini dengan terpasangnya alat tersebut di tiga tempat, yaitu di Baku (Azerbaijan), Islamabad (Pakistan), dan Yogyakarta (Indonesia) ke depan diharapkan bahwa peristiwa gempa dapat di deteksi lebih dini. Dengan menggunakan alat ini memang sudah dapat diprediksi kejadian gempa di manapun di dunia, tetapi cakupan wilayahnya masih terlalu luas (dengan radius sekitar 500 km atau seluas Pulau Jawa). Nampaknya masih perlu tambahan pemasangan alat agar cakupannya lebih sempit.

Pengurangan Risiko Bencana

Terlepas dari prokontra terhadap penelitian tentang pratanda gempa bumi untuk memprediksi kejadian gempa bumi secara lebih cepat, tepat dan akurat, semestinya upaya prediksi kejadian gempa bumi harus tetap dilakukan, dengan pendekatan apa pun. Hal ini menjadi lebih penting karena masalah ini terkait dengan jumlah kerusakan, kerugian dan korban yang dapat ditimbulkan oleh suatu gempa bumi berapa pun skalanya.
Penelitian-penelitian tentang pratanda harus tetap dilakukan dan sejalan dengan aplikasi Deklarasi HYOGO 2004 yang diprakarsai oleh UNESCO.

Inti deklarasi tersebut menyatakan, bahwa penanggulangan bencana gempa bumi harus dilakukan dengan pendekatan pengurangan risiko bencana melalui lima kesepakatan, yaitu prioritas pengurangan risiko bencana, pengenalan risiko bencana dan pengambilan tindakan, membangun pemahaman dan kesiap-siagaan, pengurangan risiko bencana, siap-siaga dan siap-tindak penanggulangan terhadap bencana harus didasarkan pada konsep manajemen bencana yang baik.

Manajemen mencakup tahapan pencegahan, mitigasi, kesiap-siagaan, tanggap darurat, pemulihan, dan pembangunan. Mitigasi bencana sangatlah diperlukan guna mengurangi risiko bencana. Sesungguhnya mitigasi bencana adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah dan akademisi. Pada saat ini berbagai aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dapat digunakan, diantaranya sistem informasi geografis (GIS), emergency medical care information system, satellite image, global positioning system (GPS), teknologi nirkabel dan radio yang dapat digabungkan di dalam sebuah sistem informasi penanggulangan bencana (Alam, 2010).

Terkait dengan teknologi satelit, maka Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah merancang dua satelit mikro yang dapat digunakan untuk manajemen bencana, yang akan diluncurkan 2011 dengan bantuan roket India. Berbeda dengan satelit penginderaan jauh lain, kedua satelit ini mengorbit sepanjang garis khatulistiwa sebanyak 14 kali sehari. Satelit ini juga berbeda dengan pendahulunya (Lapan-TUBsat) yang merupakan kerjasama dengan Jerman dan mengorbit utaraselatan. Satelit pertama disebut Lapan-A2 (bobot 68 kg) membawa sensor yang berupa kamera videografi, sedangkan satelit yang kedua diberi nama Lapan-A3/Orari (bobot 70 kg) memiliki fasilitas komunikasi memakai gelombang radio dan menggunakan sensor kamera fotografi.

Hal lain yang juga penting adalah merubah paradigma dalam menghadapi bencana. Jika dahulu bencana alam dianggap sebagai bukan bagian dari kehidupan, karena merupakan peristiwa yang berada di luar nalar manusia, maka sekarang paradigma tersebut secara perlahan mulai bergeser. Kini mulai dipahami bahwa bencana merupakan bagian dari risiko kehidupan manusia yang pasti terjadi, hanya saja kita tidak tahu kapan terjadi, dimana dan berapa besarnya. Oleh sebab itu dengan paradigma baru tersebut, manusia harus slap menghadapi bencana. Manusia memang tidak dapat mencegah bencana, namun paling tidak dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya, yaitu dengan mengurangi risiko dampak bencana, dan selalu siap-siaga untuk menyelamatkan diri sesuai prosedur penyelamatan.

Alam terkembang jadi guru, ungkapan bijak nenek-moyang orang Minang ini mungkin dapat digunakan dalam menyikapi berbagai bencana beruntun yang melanda berbagai wilayah Nusantara. Ungkapan tersebut mengisyaratkan pula bahwa selain berguru kepada alam kita juga harus akrab dengan bencana. Akrab dengan bencana harus terakomodasi dalam kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat (termasuk kearifan lokal dalam menghadapi bencana alam). Yang juga diperlukan adalah political will pemerintah untuk segera memprioritaskan program mitigasi bencana (khususnya gempa bumi dan tsunami), pembangunan sistem peringatan dini, sosialisasi, latihan tindakan penyelamatan dalam menghadapi bencana. Sebagai implikasinya pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk melaksanakan program tersebut. Kerjasama dengan negara-negara yang sudah lama akrab dengan bencana juga perlu dikembangkan.

Perencanaan pembangunan nasional dan daerah harus memasukkan program antisipasi terhadap bencana yang konstruktif dan dapat dilaksanakan semudah mungkin, serta dapat memberi perlindungan kepada masyarakat secara maksimal. Kejadian di daerah rawan bencana dapat menjadi acuan dalam penyusunan rencana mitigasi bencana yang komprehensif. Menurut beberapa Iiteratur, mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur, yaitu : (1) penilaian bencana (hazard assessment), yang menghasilkan Peta Potensi Bencana, (2) peringatan (warning), penggunaan berbagai saluran komunikasi yang cepat, tepat dan terpercaya, (3) persiapan (preparedness), yang sangat erat hubungannya dengan tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah di dalam mengurangi dampak bencana.

Khususnya tentang kepedulian masyarakat, Tim Teknis Nasional Pengawas Bencana Alam (PBA) DIY-Jateng setelah melakukan survei terhadap 400 responden pada bulan Nopember 2007 di daerah tersebut menyimpulkan bahwa keinginan masyarakat untuk selalu siap-siaga menghadapi bencana cukup besar. Sayangnya, pengetahuan yang mereka miliki sangat terbatas. Oleh karena itu perlu segera melakukan pendidikan dan pelatihan agar masyarakat sadar bencana dan tahu apa yang harus mereka lakukan.

Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota misalnya, perlu disesuaikan dengan daya dukung lahan dan potensi kebencanaan daerah. Pembangunan dan pengembangan wilayah di daerah rawan bencana harus dikontrol dengan ketat. Namun hingga saat ini masih sering dijumpai RTRW yang sama sekali tidak mempertimbangkan hal tersebut. (*)

0 comments:

Posting Komentar